Aceh dan Sadar Zakat


Farhan Zuhri Baihaqi

Akhir akhir ini Provinsi Aceh berada dalam sorotan atas kesenjangan ekonomi. Bahkan jika kita titik beratkan dircurs pada ketimpangan APBA dengan Kemiskinan di Aceh. Dengan Nominal 15,194 T yang di pergubkan pada tahun 2018 bukanlah angka sederhana, melainkan angka fantastis bagi Aceh bahkan Sumatera, angka tersebut merupakan APBD terbesar yang diterima oleh Aceh mengalahkan APBD provinsi lainnya. Tentu saja dengan dengan Nominal tersebut, rasa-rasanya angka Kemiskinan di Aceh menurun drastis, namum pada kenyataan berbanding terbalik.

Kondisi ini bukanlah opini semata, melainkan fakta sesuai data BPS yang dipublikasi dua tahun terakhir dengan menyebutkan Nominal APBD setiap Provinsi di Sumatera, dan Aceh merupakan Provinsi dengan APBD terbesar diantara provinsi lainnya, dalam data yang sama juga disebutkan bahwa Provinsi Aceh adalah Provinsi termiskin ke 2 setelah bengkulu dengan tingkat kemiskinan mencapai 16,43%, serta Penggangguran mencapai 7,39%.

Bahkan data terbaru menyebutkan dari Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IdeAS) bahawasanya Jumlah APBD Aceh merupakan yang kelima terbesar di Indonesia. Akan tetapi bila dilaihat secara perbandingan kesejahteraan, Aceh juara enam sebagai Propinsi paling miskin di Nusantara.

Berangkat dari data tersebut, penulis disini tidak akan menguraikan faktor-faktor kemiskinan atau data pengangguran di Aceh, karena sudah banyak tulisan sebelumnya yang telah menguraikan faktor-faktor tersebut, tetapi penulis lebih menitik beratkan pada solusi kemiskinan dan pengagguran tadi.

Akhir-akhir ini di Aceh begitu ramai dengan Komunitas sosial yang lahir dan tumbuh untuk menurunkan angka Kemiskinan di Aceh, Komunitas-Komunitas tersebut hadir untuk memberikan solusi dengan berbagai cara, Komunitas sosial yang penulis maksud adalah komunitas yang bersifat Dermawan atau dalam bahasa lain “Filantropi”. Filantopi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti Cinta Manusia, dalam makna yang luas Filantopi bisa didefenisikan dengan kepedulian sesorang kelompok atau komunitas kepada orang lain berdasarkan kecintaan sesama manusia. Filantopi juga kerap diekpresikan dengan cara menolong orang-orang yang membutuhkan.

Dalam Buku Melayani Umat karya Hilman Latief Doktor Filantropi lulusan Utrecht University Belanda menyebutkan: “Fialntropi dimaknai sebagai ‘kedermaanan’, sebuah watak atau sikap altruistik (mengutamakan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama) yang sudah menyatu dalam diri manusia, baik individual maupun kolektif. Nilai sosial budaya dalam masyarakat yang mengispirasi dan memotivasi praktik kedermawanan boleh jadi berbdeda-beda, meskipun ujungnya bermuara pada praktik yang sama, memberi.

Dan membayar Zakat merupakan salah satu praktik filantopi serta ibadah yang besrsifat Ibadah Maaliyyah Ijtama’iyah yang besposisi sangat strategis dalam  pebangunan kesejahteraan umat.

Sadar Zakat

Untuk Hal Zakat, Aceh tidak perlu diragukan lagi terkait dengan regulasi dan Lembaga yang bergerak di bidang penghimpunan dan pemanfaatan dana zakat, bahkan jika kita telah lebih jauh, menurut Qanun Aceh no 10 tahun 2018, produktifitas SDM untuk penghimpuna dan penyaluran Zakat atau Infaq Shadaqah dibawah Baitul mal (BAZNASnya Aceh)  sudahlah memasuki level produktif, ini terlihat dari jumlah komisioner dan Tenaga profesional dalam struktur Baitul Mal baik tingkat Provinsi maupun kabupaten/Kota.
Tidak hanya Baitul Mal, leambaga lain yang bergerak di bidang yang sama seperti BAZ dan LAZ Swasta baik bersifat Nasioanl maupun loka juga telah menyesuaikan diri dengan latar tempat BAZ atau LAZ itu berada. Apalgi Aceh mempunyai persentase Muslim terbanyak di Indonesia

Tapi dibalik itu semua, selalul saja timnbul sebuah pertanyaan sederhana, sudahkah Potensi atau kantong-kantong zakat dari Muzakki sudah membayar Zakat secara retail maupun coorporate?

Pertanyaan ini selalu hadir setiap bulan bahkan tahun berlalu, mengapa tidak, dari potensi Zakat di Aceh mencapai lebih dari 1,5 Triliuan. Namun tetap saja masih terjadi kesenjangan ekonomi umat akibat potensi Zakat tersebut tidak terserap dengan baik.

Kesadaran Masyarakat akan zakat masih tergolong minim, disamping itu Problemnya kultural, kebanyakan masyarakat berzakat namun belum dicatat.
Mereka masih menyalurkan secara konvensional dan belum melalui BAZ serta LAZ kredible dan terakreditasi oleh negara.
Pemerintah dalam hal ini tidak hanya Baitul Mal, BAZ atau LAZ harus terus melakukan sosialisasi tentang penting dan wajib zakat. Hal inilah yang mendorong potensi zakat bisa terserap dengan maksimal serta dapat menuntaskan kesenjangan ekonomi umat.

Disamping itu perlunya ada profesionalitas dan akuntabilitas Baitul Mal, BAZ dan LAZ agar nantinya para muzakki dengan penuh rasa keihklasan membayar zakat.
Wallahualam

Farhan Zuhri Baihaqi
Ketua Lazismu Lhokseumawe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar