Jejak Syaikh Al-Kalaliy di Lhokseumawe, Pencetus Majalah Islam pertama di Nusantara

 

Oleh :Farhan Zuhri Baihaqi
melaporkan dari Hagu Selatan Lhokseumawe

Tenaga Ahli Bidang Adat dan Kebudayaan Pemko Lhokseumawe, Alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry

Jumat pagi, 18 September 2020 saya bersama dengan Kasi Sejarah, Kasi Kesenian dan rombongan Dinas Pendidikan & Kebudayaan kota Lhokseumawe berkunjung ke makan Syaikh Muhammad bin Salim Al-kalaliy atau yang lebih di kenal dengan sebutan Syaikh Al-Kalali di Gang Panti Asuhan Muhammadiyah desa Hagu Selatan/bersebelahan dengan kantor Desa setempat dimana didalam kompleks tersebut ada enam makam. Dalam kunjungan tersebut dipandu oleh Fatma (cucu kandung) Syaikh Al-Kalaliy yang juga beliau juru kunci makam tersebut sampai dengan sekarang. Pada awalnya, kunjungan ini dimaksudkan untuk menelaah lebih lanjut kondisi Makam Syaikh Al-Kalaliy serta mempelajari kondisi lingkungan sekitar makam.

Terus Siapakah Syaikh Al-kalaliy sebenrnya? Sehingga dalam sejarah, Majalah terbitanya sebagai majalah Islam pertama di Nusantara?

Beliau Lahir di Singapura tahun 1846 dan merupakan keturunan Arab. Dalam catatan sejarah, Syaikh Al-Kalaliy punya kontribusi besar dalam mengembangkan pembaharuan bagi Muslimin Nusantara melalui Majalah AL-IMAM (Majalah Islam Pertama di Nusantara yang penerbitnya adalah Syaikh Al-Kalali pada 23 Juli 1906).

Taqiyuddin Muhammad salah seorang peneliti sejarah Islam di Lhokseumawe dalam catatan nya menyebutkan “Syaikh Al-Kalaliy merupakan sosok yang telah mencetak berbagai jejak kebaikan, tidak hanya bagi Kota Kecil yang sekarang dinamakan Lhokseumawe, tapi untuk sejumlah negeri kaum muslimin di Asia Tenggara.  Syaikh Al-Kalaliy turut pula berkontribusi bagi arkeologi Islam di Indonesia. Beliau berhasil menyikap nama-nama tokoh era Samudra Pasai melalui pembacaan inskripsi pada makam tinggalan sejarah kerajaan Islam tersebut.”

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih kenal Buya Hamka dalam Majalahnya Panji Masyarakat No. 201 tanggal 15 Juni 1976 mengambarkan terkait Napak Tilas Syaikh Al-Kalaliy hingga menerbitkan Majalan Al-imam. “Dalam Kebangkitan Islam di Indonesia, sudut kewartawanan dan majalah sebagai media massa, tidaklah dapat dipungkiri bahwa Majalah Islam yang mula-mula terbit ialah majalah “Al-Imam”. Majalah itu bulanan nomorya yang pertama terbit 1 Jumadil Akhir 1324 bertepatan dengan 23 Juli 1906.” Bila kita baca isi majalah Al-Imam sejak nomor pertama, baik rencana yang ditulis di dalamnya, ataupun jawaban atas soal-soal yang dikemukakan. Jelas sekali majalah ini telah mengeluarkan pembaharuan paham dan menentang dengan keras faham yang karut dan bodoh.  Majalah Al-Imam banyak terpengaruh paham Majalah “Al-Manar” yang di terbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir pada tahun 1315H. Al-Imam mendapat perhatian besar dari ulama-ulama yang sefaham. Nama Wakil-wakil dari setiap wilayah dituliskan pada kulit halaman kedua, diantaranya terdapat wakilnya di Batawi Said Muhammad bin Abdurrahaman, Haji Abdullah bin Haji Ahmad di Padang Panjang, Dr. H. Abdulkarim Amrullah dan lain-lain.”

Bahkan yang menariknya, Snouck Hourgronye salah satu sosok yang pernah kontroversial di Aceh mengigat jasa Syaikh Alkalaliy yang banyak menolongnya dalam penyelidikan sejarah Islam di Aceh, terutama dalam menyelidiki bahasa Arab pada batu-batu nisan. Beliau adalah seorang teladan dari pengembang Islam di Zaman dahulu kala di Nusantara. Beliau tidak saja sebagai saudagar (hartawan) tetapi juga seorang yang berpengetahuan Agama Islam yang luas. Jika beliau datang ke suatu negeri, beliau kan menyelidiki sejarah negeri tersebut, adat istiadat penduduknya, perkembangan agamanya, sehingga Snouck bertanya kepada beliau tentang sejarah Aceh dan meminta nasehat pula tentang arti tulisan-tulisan pada batu nisan Sulthan-Sulthan Aceh di Pasai.

Selain itu, Syaikh Al-Kalaliy juga merupakan guru Prof. Dr. Tgk Muhammad Hasbi Ashiddieqy dimana Hasbi banyak mengenal ide pembaharuan dan memperdalam bahasa arab serta mengenal dari dekat ajaran Muhammad Abduh yang dikenal melalui Al-Manar. Tak hanya disutu, Syaikh Al-Kalaliy juga mengirim Hasbi belajar ke Madrasah Al-Irsyad yang diimpin oleh Syaikh Ahmad Soorkati Al-Anshariy Assundaniy di Jawa.

Pernah di Kunjungi Buya Hamka di Kediaman Lhokseumawe

Pada tahun 1930 di waktu itu Buya Hamka baru berusia 22 tahun, Ayahnya (Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah) diberikan mandat untuk melaksanakan perjalanan ke Aceh dan Buya Hamka ikut bersama ayahnya. Buya Hamka bercerita moment Jamuan Syaikh Al-Kalaliy di kediamannya. “tampak wajah Syaikh Alkalaliy sudah tua, dan akhirnya sampai pada perbincangan kepada “Al-Imam” yang ayahku jadi wakilnya di Danau Sumatra pada tahun 1906, yang waktu itu saya belum lahir.”

Buya Hamka juga mendeskripsikan keulungan Syaiikh Al-Kalaliy sebagai saudagar, “Di Cirebon ada harta-benda dan usahanya. Di Pulau Pinang beliau mempunyai usaha yang diberi nama “Pulau Pinag Al-Kalaliy & Co”. Dan di Lhokseumawe ada cabang usaha Impor dan Ekspor.

Dan Buya Hamka pun memberikan kesimpulan bahwasanya Syaikh Al-kalaliy dapat dideretkan dengan nama-nama peranakan Arab yang lain, yang berjasa Besar dalam perkembangan Islam di Nusantara sperti; Syaikh Abdushamad Al-Falimbaniy dan Syaikh Muhammad Nuruddin Ar-Raniry.

Hari tua dan wakaf tanah untuk Panti Asuhan Muhammadiyah

Hari Tua beliau habiskan di Lhokseumawe. Kasih sayangnya kepada Aceh menimbulakn keinginan membiayai Putera Aceh belajar agama yang lebih maju. Seperti penjelasana di atas, Putera Aceh tersebut yaitu Prof. Dr. Tgk Muhammad Hasbi Ashiddieqy.

Pada keadaan meledaknya Revolusi Indonesia pada tahun 1946 yang di Aceh gelora itupun semakin meningkat, di saat itulah Syiakh Al-Kalaliy kembali keharibaan. Kemudia keluarga Syiakh Al-Kalaliy mewakafkan tanah untuk Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe seluas 4.192,50 M2.

Mantan Pimpinan Panti AsuhanMuhammadiyah Lhokseumawe Ustadz Baihaqi yang juga ayah kandung saya (Penulis) menyebutkan Panti Asuhan Muhammadiyah di Desa Hagu Selatan didirikan tahun 1968. “Lokasi musalla sekarang, dalam kompleks panti asuhan, dulunya rumah Al-Kalaliy,”

Sementara itu Fatma (cucu Al-Kalaliy) yang menemani kami berkunjung ke lokasi Makam menyatakan “Hampir semua tanah di desa ini dulunya tanahnya. Setelah beliau meninggal, sebagian diwakafkan oleh anak dan cucunya untuk kepentingan umum, termasuk bagi Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe”

Di Komplek Makam yang kami kunjungi ini, kondisi komplek makam sebenarnya tidak layak sebagai makam salah seorang yang berjasa bagi penguatan Islam di Nusantra termasuk Aceh. Perlu pemugaran serta perawatan.

Dalam akhir pertemuan kami bersama ibu Fatma dengan suara sedikit sedih beliau menyampaikan harapan besar  “semoga kehadiran Bapak/Ibu ke kediaman kami dan Makam Syaikh Al-kalaliy bisa mendorng agar Kompleks Makam Al-kalaliy bisa dipugar dan layak oleh Pemko Lhokseumawe. Karena selama ini kondisi Kompleks Makan sangat memprihatinkan, apalagi hanya saya sendiri yang membersihkan Komplek Makam. Saya sudah tua, tangan pun tidak mampu lagi untuk mencabut rumput dalam jumlah banyak.” Tutupnya.

 *tulisan ini telah di muat di Serambi Indonesia (Jurnalisame Warga) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar